Setelah hampir 2 minggu hidup dalam ketidakpastian, kekawatiran, ketakutan, akhirnya hari ini semua bisa kembali tampak "normal". Setelah bentrok kecil yang kembali diduga dikaitkan (dikaitkan ya, bukan terkait, saya takut salah) dengan isu SARA.
Lagi? Ya! Lagi!
Setelah apa yang terjadi beberapa tahun silam, yang membuat kedamaian Tanah Pattimura ini sedikit tercoreng, yang membuat rekan-rekan sebaya saya dulunya sempat “hampir” kehilangan masa depannya, yang membuat negara-negara lain memberlakukan travel warning untuk para warganya untuk tidak datang ke kota yang ke-eksotik-an pantainya tidak diragukan lagi ini, yang membuat pudar semangat Pela Gandong, yang menorehkan luka yang begitu mendalam, yang mungkin bisa termaafkan namun tidak untuk terlupakan.
Hari itu, hari Jumat, seperti biasa, pulang kantor, saya cari nunutan untuk pulang ke asrama. Dalam perjalanan pulang dengan mobil kantor, tepat di lokasi kejadian bentrok beberapa minggu lalu, kembali terjadi “ribut-ribut”. Orang-orang, bapak-bapak, ibu-ibu, tua-muda, anak-anak, oma-opa, semua yang ada di jalan itu LARI! Lari ke arah yang menjauh dari Trikora (tempat terjadinya peristiwa memprihatinkan itu). Semua pemilik toko di sekitar jalan itu sontak menutup tokonya dan hanya mengintip-intip dari balik jendela. Bahkan, saya lihat banyak orang yang lari sudah lengkap dengan bawaan-nya (baca: koper, tas ransel, bahkan ada yang bawa kompor!).
Sebenarnya, bukan itu yang mau saya sampaikan, namun ada satu kejadian singkat yang juga cukup membekas di ingatan saya. Ketika orang dengan paniknya berlarian, saya berpapasan dengan seorang anak laki-laki, kira-kira usianya 10-11 tahun, dengan membawa tas ransel hitam besar dia lari, sambil terus menggandeng adiknya yang juga laki-laki, kira-kira 6-8 tahun umurnya.
“Ayo, ale lari capat sadiki!” teriak sang kakak, “Bapa mana? Katong tunggu Bapa dolo…” rengek sang adik yang sambil menahan tangisnya. Tak ketinggalan, si adik juga kewalahan dengan backpack hitam yang kira-kira2 besarnya setengah dari badannya. Si kakak tidak sabar menyeret sang adik, dan saat itu sepertinya dia sadar kalau saya memperhatikan dia. Dia berhenti, menatap saya, lalu melanjutkan lari dan menyeret adiknya lagi.
Kejadian itu tidak lebih dari 2 menit, namun setelah beberapa hari. Saya baru sadar, apa arti dibalik tatapan itu. Jauh kedalam bola mata hitamnya yang kecil dan jernih, ada banyak tanya yang mungkin saja saya salah dalam menginterpretasikannya. Tapi setidaknya, inilah mungkin ingin dia sampaikan kepada saya, kepada orang-orang dewasa yang bertikai, kepada para provokator yang tidak bertanggung jawab, kepada orang-orang yang mudah terprovokasi, dan kepada kita semua.
“Kenapa sih orang besar berantem?
Kenapa sih orang besar lempar-lempar batu dan botol?
Kenapa orang besar kok bakar-bakar rumah?
Kenapa sih Bapa dan Mama bilang saya tidak boleh main lagi diluar?
Kenapa saya kok tidak boleh pergi ke sekolah?
Kenapa di sekolah kok teman-teman yang datang cuma sedikit?
Kenapa Ibu guru tidak masuk dan mengajar?
Kenapa Mama bilang cuma makan Supermi saja karena ikan dan sayur mahal?
Kenapa sih kok tidak boleh tidur dirumah?
Kenapa kok banyak sekali pak polisi dan pak tentara?
Kenapa kok tank-nya pak tentara mondar mandir?"
“Aku pingin main lagi diluar sama teman-teman.
Aku pingin ke sekolah lagi, aku janji aku bakalan rajin mengerjakan PR.
Aku pingin bilang ke oom-oom jangan suka berantem, jangan suka main lempar batu, nanti kalau kena kepala bisa berdarah, jangan main bensin dan korek lagi, karena kata Bapa bisa kebakaran.
Aku kasihan lihat pak tentara dan pak polisi harus jaga siang dan malam. Pasti teman-temanku yang Bapa-nya tentara kangen deh dengan papa-nya.
Aku pingin bilang ke Mama kalau aku pingin makan ikan dan sayur lagi, boleh tidak ya aku bilang ke tante penjual sayur supaya jangan mahal2 kalau jual sayurnya.
Aku pingin jadi tentara saja biar bisa jaga Mama dan Bapa dan teman-temanku.”
Tidakkah orang-orang yang tidak menginginkan kedamaian di negeri ini sedikit saja terketuk hatinya?
Haruskah masa depan penerus bangsa ini dipertaruhkan hanya untuk kepentingan atau kebodohan segelintir orang?
Apa yang saya lihat di mata pria kecil itu hanya satu dari jutaan pasang mata yang masih punya cita-cita dan harapan serta tulang punggung bangsa ini puluhan tahun mendatang. Bukankah sekarang tanggung jawab kita untuk membuka kesempatan bagi mereka, bukannya mengubur hidup-hidup mimpi mereka. Jangan biarkan perbedaan menghalangi cita-cita bangsa ini.
No comments:
Post a Comment